Ken Norton, Ali dan Televisi Hitam Putih

Written By Smart Solusion on Saturday, September 21, 2013 | 8:14 PM





JAKARTA, Kompas.com - Berita kematian mantan juara dunia Ken Norton, pekan ini,  mengingatkan lagi masa-masa saat siaran langsung pertarungan kejuaraan dunia tinju kelas berat menjadi sesuatu yang ditunggu seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dekade 1970-an memang merupakan masa jaya tinju kelas berat dunia. Dengan bintang utamanya Muhammad Ali, di situ ada nama-nama Norton, Joe Frazier dan George Foreman.  Era yang kemudian ditutup dengan munculnya nama Larry Holmes pada awal 1980-an.

Ali dan para petinju tersebut mampu  membawa kejuaraan dunia tinju kelas berat keliling dunia, tak lagi meululu di Amerika. Mereka bertarung di Caracas, venezuela (Foreman dan Norton, 1974), Kinsasha, Zaire (Ali dan Foreman, 1974) serta yang paling terkenal tentunya "Thrilla in Manila" (Ali dan Frazier, 1975).

Juara dunia 1973-1974 dan 1995, George Foreman mengenang masa itu sebagai kejayaan dunia tinju. "Kami saling mengalahkan," kata  Foreman yang kini telah berusia 65 tahun. "Saya mengalahkan Norton dan Joe Frazier. Ali mengalahkan saya. Sementara Norton dan Frazier mengalahkan Ali. Tidak ada yang mau kalah," kata Foreman.

Norton pernah tiga kali menghadapi Muhammad Ali, dengan satu kemenangan dan dua kali kalah. Kemenangan Norton pada pertarungan pertama pada 1973 merupakan titik balik pada karirnya. Ia langsung menarik perhatian karena  menjadi petinju kedua yang mampu mengalahkan "The Greatest." Bukan hanya menang, Norton bahkan memecah rahang Ali dan menbuatnya harus dilarikan ke rumah sakit.

"Orang selalu mengatakan Norton takut menghadapi saya. Tetapi saat saya memandang dia di atas ring, saya tahu saya akan menghadapi seorang Hercules," kenang Foreman yang memukul KO Norton di ronde kedua di Caracas pada 1974.

Norton, memang cukup terlambat memulai karirnya sebagia petinju. Ia masih aktif sebagai marinir saat Ali menjadi juara dunia pada 1963 dan telah berusia 30 tahun saat memecahkan rahang si mulut besar itu. Norton baru memtuskan bertinju sebagai sumber nafkah untuk menghidupi puteranya, Ken Norton Jr yang di kemudian hari menjadi pemain sepakbola Amerika ternama.

Dalam karirnya, Ken Norton mengalami dua kekalahan menghadapi Ali pada 1973 dan 1976. Pertarungan di Yankee Stadium, New York  pada 28 September 1976 tersebut merupakan pertarungan ketiga dan terakhir antara kedua petinju. Ali menang split melalui keputusan yang  dianggap kontroversial oleh Norton hingga akhir hayatnya.

Usai pertarungan sulit menghadapi Norton, Ali memilih lawan Alfredo Evangelista, petinju kelahiran Uruguay yang berdomisili di Spanyol. Ia menang angka dengan mudah.

Saat itu Ali menghadapi pertanyaan media tentang keputusannya memilih Evangelista sebagai lawan.  "Kalian tahu berapa bayaran yang saya dapat? 2.75 juta dolar AS. Ini saya dapat bukan dengan menghadapi Joe Frazier atau Ken Norton," katanya. "Saya mendapat uang senilai itu dengan pertarungan ringan menghadapi petinju tak ternama."

Pertarungan Ali dan Norton III pada 1976 memang berlangsung keras dan melelahkan. Ali kesulitan menghadapi gaya bertinju Norton yang terus bergarak maju dengan pertahanan  yang tidak biasa.  Norton melindungi wajah bukan dengan gaya tangan vertikal, melainkan horizontal dan menyilang.

Usai dinyatakan menang, Ali langsung bersumpah tidak ingin lagi menghadapi Norton. Bukan hanya Norton, sejak itu, Ali memang tak pernah lagi berhadapan dengan nama-nama besar seperti Norton, Frazier dan Foreman. Ia bahkan kalah dari petinju tak ternama, Leon Spinks pada 1978.

Para penggemar tinju di Indonesia pada masa itu beruntung dapat menyaksikan setiap pertarungan Ali melalui siaran langsung TVRI dengan tayangan televisi hitam putih.  Termasuk juga pertarungan Norton dan Ali pada September 1976 itu. Kita dapat menyaksikan bagaimana  Norton tertunduk lemas di atas ring dan menolak turun sampai beberapa saat. Ketika rombongan Norton  bergerak masuk ruang ganti, mereka mendapat cemooh penonton yang menyebabkan seorang anggota kubu Norton marah dan menyerang penonton.

Masa-masa itu, pertandingan tinju kelas berat tidaklah selalu berlangsung pada akhir pekan seperti saat ini. Siaran langsung justru terjadi pada  jam-jam kerja dan sekolah.  Tidak heran banyak karyawan atau anak sekolah yang madol (mangkir) untuk menyaksikan pertarungan ini.  Sementara sebagian besar sekolah dan kantor  mengakalinya dengan mengizinkan murid membawa pesawat televisi ke sekolah dan membebaskan murid pada jam-jam pelajaraan saat pertaruingan berlangsung.

Para tokoh utama panggung peryinjukan tinju kelas berat dunia tersebut sekarang sudah menghilang. Joe Frazier dan Ken Norton telah meninggal dunia. Foreman telah pensiun, sementara Muhammad Ali yang gerakan tangannya mmapu membuat ribuan orang mengikuti berlari di belakangnya, saat ini tak berdaya didera Parkinson.

"Ali kini jauh lebih baik," kata mantan manajer bisnis Ali, Gene Kilroy yang mengunjungi Ali di hari ulangtahunnya yang ke 71, Januari lalu.  "Tetapi tentu ia bukan lagi seorang Ali yang mampu berjalan di jalan umum dan mampu membuat 5.000 orang mengikuti dan menjawab pertanyaannya,'hei siapa (petinju) terbesar di dunia saat ini?'

Teriakan,"Ali....Ali....Ali....," masih keras terngiang di telinga.




Editor : Tjahjo Sasongko















Anda sedang membaca artikel tentang

Ken Norton, Ali dan Televisi Hitam Putih

Dengan url

http://software-solutionsmart.blogspot.com/2013/09/ken-norton-ali-dan-televisi-hitam-putih.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Ken Norton, Ali dan Televisi Hitam Putih

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Ken Norton, Ali dan Televisi Hitam Putih

sebagai sumbernya

0 komentar:

Post a Comment

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger