Powered by Blogger.

Popular Posts Today

UNIMA dan BCA Persembahkan "Wayang Kampung Sebelah"

Written By Smart Solusion on Saturday, December 21, 2013 | 7:32 PM


Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memberikan dukungan pada perayaan HUT ke-4 Union Internationale de Marionnette (UNIMA) Indonesia di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah , Jakarta, Sabtu (21/12).


Acara dihadiri langsung oleh Komisaris Independen BCA, Cyrillus Harinowo, Head of CSR BCA, Sapto Rachmadi, Presiden UNIMA Indonesia, T.A Samodra Sriwidjaja, Pengurus Senawangi. Serta, para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jakarta.


Dalam perayaan HUT Unima Indonesia yang keempat ini juga diselenggarakan pergelaran Wayang Kampung Sebelah dengan lakon “Mawas Diri Menakar Berani” oleh dalang Ki Djlitheng Suparman dari Surakarta. Selain pertunjukan wayang, juga diadakan sarasehan dengan mengambil tema "Mengajak Generasi Muda Mencintai Kebudayaan Tradisional."


Unima Indonesia merupakan bagian dari Unima Internasional yang berkantor pusat di Charleville, Mezieres, Prancis. Sebuah organisasi bertaraf internasional yang didirikan pada  2009 oleh Senawangi dan Pepadi, organisasi nasional pemerhati perwayangan Indonesia.


Sesuai dengan tema yang dibawa, kali ini mahasiswa memang menjadi sasaran utama yang juga sebagai wakil para pemuda Indonesia yang diharapkan mampu menjaga kelestarian budaya wayang sekaligus memberikan contoh kepada seluruh masyarakat secara aktif dan berkesinambungan.


"Kami berharap melalui acara ini generasi muda dapat mulai mengenal, mencintai, dan menjaga warisan budaya Indonesia. Tidak hanya tahu tapi diam saja, mahasiswa juga harus mendukung secara nyata mulai hari ini untuk seterusnya," kata T.A Samodra Sriwidjaja, Presiden Unima Indonesia dalam sambutannya.


Dukungan BCA terhadap perwayangan Indonesia ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, BCA juga telah berpartisipasi dalam acara Bali Puppetry Festival & Seminar 2013 yang menghadirkan pertunjukan dari berbagai negara. BCA juga turut serta mendukung Wayang World Puppet Carnival 2013 yang merupakan festival wayang bertaraf internasional.


Dalam rangkaian acara ulang tahunnya yang ke-56, BCA telah menyelenggarakan pameran dan perlombaan fotografi bertajuk “World of Wayang 2013” yang diikuti lebih dari 700 peserta.


"BCA berharap mampu memperkenalkan wayang Indonesia kepada masyarakat luas tidak hanya masyarakat Indonesia namun juga masyarakat dunia akan potensi, keindahan dan betapa berharganya wayang sebagai warisan budaya Indonesia.” kata Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen BCA saat ditemui Beritasatu.com.


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















7:17 PM | 0 komentar | Read More

Agus Kuncoro Tahun Baruan di Mekah

Written By Smart Solusion on Friday, December 20, 2013 | 7:32 PM


Jakarta - Memasuki tahun 2014 biasanya banyak aktris yang bersenang-senang sekaligus mengisi acara pergantian malam tahun baru dan mendapatkan honor yang besar, hingga dibayar dua kali lipat bahkan lebih dari biasanya.


Namun berbeda halnya dengan aktor Agus Kuncoro. Pria yang namanya melejit lewat peran sebagai Azzam dalam sinetron religi “Para Pencari Tuhan” itu justru ingin mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.


“Menjelang tahun baru, saya akan pergi ke tanah suci Mekkah. Saya akan pergi dengan sutradara Hanung Bramantyo untuk umroh bareng. Ya momennya pas saja dengan tahun baru dan baru kali ini liburan tahun baru di Mekah,” ujarnya saat acara selamatan film Sang Kiai yang menjadi film terbaik di ajang FFI 2013 di kantor Rapi Films, Cikini, Jakarta, Jumat (20/12).


Rencananya, aktor yang memerankan tokoh KH. Wahid Hasyim, anak dari tokoh pendiri NU, KH Hasyim Ashari, berangkat umroh pada 28 Desember 2013 nanti hingga 5 Januari 2014.


Dikatakan, hal ini menjadi ucap syukurnya atas berkah dan rezeki yang diberikan Tuhan pada dirinya. Oleh karena itu, menjelang pergantian tahun baru, ia selalu berdoa agar perjalanannya dilancarkan.


Dalam waktu dekat ini, Agus juga mempunyai proyek baru di dunia akting, khususnya layar lebar. Pria 41 tahun itu bakal bermain di film garapan Lukman Sardi.


"Syuting filmnya Lukman. Ini proyeknya Lukman, biasanya kami menjadi lawan main, sekarang malah jadi sutradara dia. Dalam film, saya bakal beradu akting dengan beberapa pemain film terkenal lain, seperti Donny Alamsyah,” jelas dia.


Namun, ia enggan untuk memberitahukan lebih lanjut perihal film terbarunya. Ia hanya menjelaskan, hal itu menjadi proyek terbesar kawannya. "Maaf ya, belum bisa diomongin dulu, tapi ini adalah film besarnya Lukman," ucap dia.


Agus yang telah bermain di banyak film dan sinetron, tetap harus memilih setiap tawaran yang datang kepadanya. Ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan lebih dalam sebelum menerima tawaran.


”Pasti lihat dulu ceritanya, terus karakternya baru. Saya akan merasa sangat tertantang apabila menemukan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukannya di film-film sebelumnya. Ia cukup menantang dan menyenangkannya bisa jadi aktor," ungkap pria kelahiran Jakarta, 11 Agustus 1972 itu. 


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Fade 2 Black Vakum, Bondan Luncurkan Mini Album

Written By Smart Solusion on Thursday, December 19, 2013 | 7:32 PM


Jakarta - Bondan and Fade 2 Black memutuskan untuk vakum di industri musik tanah air setelah 8 tahun berkarya dan membuat empat album. Namun ini tak membuat masing-masing personel juga ikut vakum.


Mereka ternyata bersolo karir untuk tetap menyalurkan hobi bermusiknya. Hal itu diungkapkan Bondan Prakoso salah satu personel Bondan and Fade 2 Black kala dijumpai sejumlah wartawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/12) kemarin.


"Rencananya tahun depan, saya akan rilis mini album, Januari atau Februari. Jadi masih mini belum full album. Mini album 4 atau 5 lagu, dan keputusan ini (bersolo karir) sudah saya pikirkan masak-masak setelah Bondan and Fade 2 Black menyatakan vakum," ungkap Bondan.


Lebih lanjut, mantan penyanyi cilik itu mengungkap bahwa selama Bondan and Fade 2 Black vakum, masing-masing personel punya kesepakatan untuk tidak menggunakan lagu yang pernah dinyanyikan oleh band mereka.


"Saat kita memutuskan untuk vakum, kita sepakat untuk tidak membawakan lagu-lagu Bondan Fade 2 Black dari album pertama sampai keempat. Jadi pure saat kita memilih untuk karier solo atau grup, lebih baik kita memulai dari awal lagi," lanjut pelantun lagu "Si Lumba-lumba" itu.


Tidak ada perjanjian tertulis dan sanksi bagi personelnya bila dalam bersolo karir mereka tetap membawakan lagu Bondan and Fade 2 Black. Namun Bondan mengaku bahwa mereka telah menanamkan konsistensi pada diri masing-masing untuk tidak menggunakan lagu band mereka selama bersolo karir.


"Itu memang sadar banget, kalau kita berhak untuk membawakan lagu-lagu kita. Tapi kalau kita lakukan itu, kita jalan masing-masing dan membawakan lagu Fade 2 black, itu akan membunuh salah satu dari kita. Itu terjadi pada beberapa teman gue, di mana bandnya jadi nggak laku tapi penyanyinya jadi lebih laku off air-nya. Gw nggak mau kayak gitu. Nantinya apa yang gue punya itu nanti gue bawakan," tuturnya optimistis.


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















7:17 PM | 0 komentar | Read More

"Kamar" dalam Bidikan Lensa Sanja Jovanovic

Written By Smart Solusion on Wednesday, December 18, 2013 | 7:32 PM


Jakarta - Ada banyak cara yang bisa dilakukan sebagai wujud kepeduliaan pada kehidupan sosial dan kemanusiaan. Salah satunya ialah melalui aktivitas seni seperti yang dilakukan oleh Sanja Jovanovic. Sanja merupakan fotografer profesional dan juga istri dari Duta Besar Serbia untuk Indonesia dan ASEAN, Jovan Jovanovic.


Berangkat dari kepeduliannya terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan, ia menggelar pameran fotografi bertajuk "Kamar" di KOI Galeri Kemang, Jakarta. Pembukaan pameran dilaksanakan Rabu malam, 18 Desember 2013. Acara ini akan berlangsung sampai tanggal 7 Januari 2014 mendatang.


Karya "Kamar" disajikan dalam bentuk cetak frame dengan variasi ukuran mulai 24R. Seluruh hasil karyanya diabadikan dari bidikan lensa secara langsung di lapangan. Dalam karyanya, ia mengangkat kisah sisi lain kehidupan para pekerja yang datang dari berbagai penjuru pulau Jawa untuk mengadu nasib di Jakarta.


Saat ditanya seputar karya, Sanja mengaku itu semua merupakan kesaksiannya tentang dunia sekaligus ruang para pekerja serabutan. Terdiri dari serangkaian ruangan kecil yang terbentuk oleh konstruksi bagian dalam jembatan Kuningan, Jakarta.


"Mereka bekerja keras untuk menyambung hidup dan menafkahi keluarganya di rumah. Saya tertarik ketika melihat kehidupan yang tidak pernah saya saksikan sebelumnya setelah salah satu diantara mereka mempersilakan saya melihatnya. Mereka tidak menamai tempat tinggal itu sebagai rumah. "Ini adalah kamar," kata mereka saat saya jumpai," ujar Sanja saat ditemui Beritasatu.com di sela-sela pameran.


Menurut Sanja, kehidupan para buruh menarik karena adanya sebuah estetika dan disiplin dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana. Kamar bagi Sanja, merupakan potret jujur kemanusiaan.


"Saya kagum melihat aktivitas keseharian mereka. Sangat disiplin sekali meskipun dalam kehidupan sederhana. Mereka bekerja sebagai tukang bangunan dan berkebun tapi kehidupan seperti militer. Setiap pagi mereka bangun lalu pukul 6 mandi di bawah kamar. Mereka selalu sembahyang di sebuah mushola dekat tempat tinggalnya dan pergi melakukan aktivitasnya. Meski sangat sederhana sekali, mereka menjunjung tinggi nilai itu," ujarnya.


Karya fotografi yang termasuk dalam kategori "Human Interest" ini sebelumnya pernah dipublikasikan di National Geographic Serbia pada Desember 2013 dan juga memenangkan satu ajang fotografi potrait di FotoDC di Washington D.C, Amerika Serikat. Hasil dana yang diperoleh dari pemeran ini nantinya akan digunakan untuk kegiatan sosial kemanusiaan.


Tentang Sanja Jovanovic
Sanja Jovanovic ialah seorang fotografer profesional dan juga istri dari Duta Besar Serbia untuk Indonesia. Dalam karirnya ia berfokus pada isu-isu sosial dan kemanusiaan. Ia sangat menikmati traveling dan mendokumentasikan seluruh kehidupan dari berbagai kebudayaan.


Karya-karyanya pernah dipublikasikan dalam beberapa koran dan majalah seperti National Geographic sebagai kontributor umum. Pada November 2011, karya ceritanya yang verjudul Marriage Lottery (Bracna Lutrija) diakui oleh National Geographic sebagai karya lokal terbaik di antara 40 edisi di seluruh dunia.


Penghargaan


2013 Belgrade, The portfolio winner of the 100 Best, ReFoto magazine contest, on occasion of its 100th issue


2013 Kiev, Second prize for Kamar story Golden Camera International Award


2012 Washington D.C FotoDC First prize for portrait from Kamar series


2012 Belgrade, Beta photo of the year, Grand Prix in Serbia for the photograph Mother and daughter


2011 Press photo Serbia winner for the Everyday Life story Family Matters


2010 Press Photo Serbia - Grand Prix for the photography Couple from the project Uprooter Community


2009 Ney York, En Foco - Honorable mention


2008 Press Photo Serbia Winner for Environmental Story and Everyday Pameran dan Festival


2013 Brazil, Belo Horizonte - Kamar


2013 Italy, Bari - Kamar


2012 Taiwan, Taipei - photo exhibition ‘’Witnessed of silence’’ - National 228 Memorial Museum.


2011 Belgrade and Bratislava - ‘’New Pictures of Belgrade’’


2010 France, Sarcelles, Photosoc Festival


2009 Stockholm, Applied Nostalgia


2009 Belgrade, Applied Nostalgia


2009 Amsterdam, Balkan Snapshot Film Festival


Pendidikan


2008 BA in Photography at the Faculty of Applied Arts, University of Belgrade


2010 SEE New Perspectives, Masterclass by World Press Photo in partnership with Robert Bosch Stiftung, Berlin


2011 Noor – Nikon Masterclass, Bucharest


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















7:17 PM | 0 komentar | Read More

Kisruh Film Soekarno Dipicu Perbedaan Pilihan Aktor Pemeran Bung Karno

Written By Smart Solusion on Tuesday, December 17, 2013 | 7:32 PM


Jakarta - Film "Soekarno: Indonesia Merdeka" garapan sutradara Hanung Bramantyo ternyata masih menjadi perdebatan dan meninggalkan masalah, meski telah diputar di seluruh bioskop Tanah Air.


Pihak MVP Pictures dan sutradara Hanung tidak terima jika karya besarnya ini tidak layak tayang atas tuntutan puteri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri yang meminta agar film tersebut ditarik dari peredaran di bioskop karena dianggap tidak sesuai.


Mereka pun mengklaim, hak cipta film ini murni karya Hanung dan Ben Sihombing, bukan Rachmawati.


Hanung pun mengklarifikasi tudingan mencuri ide pembuatan film tersebut seperti yang dituduhkan oleh Rachmawati.


Gagasan pembuatan film biopik Soekarno diakui Hanung sudah muncul setelah dirinya menggarap film “Sang Pencerah” yang diyakini film-film menceritakan tokoh banyak digemari masyarakat. Namun lantaran ada kegiatan lain, gagasan itu menjadi tertunda.


"Kebetulan pihak Ibu Rachmawati mengundang saya menghadiri gladi resik opera Maha Guru. Lalu beliau mengajak membuat film Soekarno yang kebetulan saya dan Pak Raam ingin bikin juga. Ini sinergi yang baik, ada perwakilan keluarga, pemodal dan sutradara," kata Hanung yang didampingi kuasa hukum MVP Pictures, Rivai Kusumanegara saat jumpa pers di Jakarta, Selasa (17/12).


Akhirnya pihak Rahcmawati, MVP Pictures dan Hanung melakukan pengkristalan dari cerita yang ingin diangkat dengan menggelar Focus Group Discution (FGD). Dari diskusi yang dilakukan selama sekitar empat hari tiga malam berdasarkan buku-buku biografi Soekarno, munculah tiga judul film.


"Dari diskusi itu menghasilkan tiga judul Soekarno: Indonesia Menggugat, Soekarno: Indonesia Merdeka dan Hari-Hari Terakhir Soekarno," ungkapnya.


Pihak MVP dan Rachmawati pun telah mengetahui tiga judul film yang tercetus tersebut. Atas pertimbangan Raam sebagai seorang produser, hasilnya terpilihlah dua judul yakni Soekarno: Indonesia Merdeka dan Hari-Hari Terakhir Soekarno


Selain itu, yang membuat kedua belah pihak pecah kongsi karena pemilihan aktor pemeran Bung Karno.


Rachmawati merasa tokoh Soekarno pantas diperankan Anjasmara sedangkan MVP Pictures memilih Ario Bayu. Keputusan memakai Ario Bayu ini menjadi salah satu alasan Rachmawati mundur dari kerjasama.


"Kenapa Ario Bayu, menurut saya memang dia yang pas. Munculnya pertama kali konflik sebenarnya sederhana. Ketidakcocokan pemain. Kalau kita sikapi dengan dewasa sebenarnya enggak akan ada masalah seperti ini," ungkap Hanung.


Di benak Hanung, film Soekarno harus menampilkan sosok Bung Karno secara heroik. Makanya, ia mencari pemeran dengan postur tubuh gagah dan tinggi.


"Makanya pilihan saya orang yang punya postur 170cm ke atas. Pilihannya Agus Kuncoro, Darius Shinatrya dan Ario Bayu. Bahkan kami juga casting pakai baju dan lighting biar terlihat gagah dan presentasikan ke Ibu Rachmawati. Namun pilihan akhirnya jatuh pada Ario Bayu," tutup Hanung.


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















7:17 PM | 0 komentar | Read More

Aktris Joan Fontaine Meninggal Dunia pada Usia 96 Tahun

Written By Smart Solusion on Monday, December 16, 2013 | 7:32 PM


Los Angeles - Aktris peraih Piala Oscar Joan Fontaine meninggal dunia di rumahnya di Carmel, California, AS, Minggu (15/12). Fontaine meninggal pada usia 96 tahun.


Kabar tentang meninggalnya Fontaine disampaikan teman lamanya, Noel Beutel kepada media, Senin (16/12).


Beutel menyebutkan, Fontaine meninggal dengan "sangat damai" dalam tidurnya di kediamannya, di Carmel.


Fontaine meninggalkan seorang kakak, yang juga aktris peraih Piala Oscar Olivia de Havilland. Selama beberapa dekade, Joan Fontaine dan kakaknya itu tidak berbicara. Mereka terlibat perselisihan.


Fontaine lahir dengan nama Joan de Beauvoir de Havilland pada tahun 1916 di Tokyo, Jepang. Ayahnya adalah pengacara dan juga guru berkebangsaan Inggris. Dia dan kakaknya pindah ke Saratoga, California, AS bersama ibu mereka pada tahun 1919 ketika kedua orangtuanya berpisah.


Fontaine masih remaja ketika ia memulai karier aktingnya sebagai Joan Burfield pada tahun 1935 dalam film No More Ladies. Dia kemudian mengadopsi nama panggung Fontaine, yang diambil dari nama suami kedua ibunya.


Pada tahun 1978, dia menulis otobiografinya berjudul No Bed of Roses. Di bukunya itu ia menyebutkan bahwa ibunya , yang juga seorang aktris, mulai mendorong persaingan antara ia dan kakaknya sejak usia dini.


Perseteruan diperpanjang untuk karier mereka ketika kedua saudara dinominasikan untuk aktris terbaik Oscar pada tahun 1942. Fontaine, yang dinominasikan untuk film besutan Alfred Hitchcock berjudul Suspicion mengalahkan kakaknya yang dinominasikan untuk Hold Back the Dawn.


Tapi, lima tahun kemudian, De Havilland memenangkan Piala Oscar pertamanya tepatnya tahun 1947 sebagai aktris terbaik untuk To Each His Own. Selama kariernya, De Havilland meraih dua Piala Oscar.


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















7:17 PM | 0 komentar | Read More

Aktor Peter O'Toole Meninggal Dunia pada Usia 81 Tahun

Written By Smart Solusion on Sunday, December 15, 2013 | 7:32 PM


London - Aktor asal Irlandia, Peter O'Toole, peraih Piala Oscar dalam perannya di film Lawrence of Arabia, meninggal dunia pada usia 81 di London, Inggris. Informasi meninggalnya O'Toole disampaikan agennya, Steve Kenis, Minggu (14/12).


Pria kelahiran Irlandia dengan nama lengkap Peter Seamus Lorcan O'Tole ini dikabarkan sudah menderita kanker di perut sejak 1970 lampau. Ia meninggal dunia, Sabtu (13/12) waktu setempat di rumah sakit Wellington di London. Ia sudah lama dirawat di rumah sakit itu.


Tahun lalu, O'Toole mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia film. Tampaknya ia sudah merasakan tubuhnya makin lemah. "Ini perpisahan saya, terima kasih atas sambutannya selama ini," ujarnya.


O'Toole lahir pada tahun 1932. Ia adalah anak Jane Constance Eliot, seorang perawat Skotlandia dan Patrick Joseph O'Toole, warga negara Irlandia logam yang juga pemain sepak bola.


Pada awal kariernya, O'Toole menjadi simbol dari generasi baru Hellraiser Hollywood, pemuda yang senang minum minuman keras.


Ia meninggalkan dua putri, Pat dan Kate O'Toole, dari pernikahannya dengan aktris Siân Phillips , dan putranya Lorcan O'Toole dari hubungannya dengan Karen Brown.


Putri O'Toole, aktris Kate O'Toole mengatakan, pihak keluarga sangat menghargai dan benar-benar kewalahan oleh curahan cinta sejati dan kasih sayang yang diungkapkan ke pihak keluarga atas kepergian Peter O'Toole.


"Terima kasih untuk semuanya, dari lubuk hati kami yang paling dalam," ujarnya.


Presiden Irlandia Michael D Higgins memberi pernyataan khusus untuk meninggalnya O'Toole. Menurut dia, dunia telah kehilangan salah satu raksasa film dan teater .


"Dalam daftar panjang peran utama di panggung dan dalam film, Peter membawa standar yang luar biasa untuk menjadi seorang aktor. Dia memiliki minat yang mendalam dalam sastra terutama soneta cinta Shakespeare," ujar Higgins.


"Ia dinominasikan sebagai Aktor Terbaik untuk Oscar delapan kali, dan menerima Oscar khusus dari rekan-rekannya untuk kontribusinya film, ia sangat berkomitmen untuk dunia panggung," tambahnya.


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















7:17 PM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger