Powered by Blogger.

Popular Posts Today

Kim Kardashian dan Kanye West Resmi Menikah

Written By Smart Solusion on Saturday, May 24, 2014 | 8:32 PM


Pasangan selebriti, Kim Kardashian dan Kanye West, akhirnya secara resmi mengikat diri, dalam sebuah upacara mewah di depan 200 tamu undangan yang terdiri dari teman dan keluarga, dengan mengambil tempat di bangunan bersejarah Forte Di Belvedere di Florence, Italia.


Majalah People menyebutkan, kedua mempelai itu resmi menikah dengan pemberkatan oleh pendeta Rich Wilkerson Jr. Kim Kardashian, yang berpakaian serba putih, digambarkan berjalan menyusuri lorong menuju altar dengan diantar oleh ayah tirinya, Bruce Jenner, dengan diiringi lagu dari penyanyi tenor Italia, Andrea Bocelli.


Sementara itu, Ibunda Kim Kardashian, Kris Jenner, menyatakan dirinya sangat dipenuhi oleh kebahagiaan menyaksikan puterinya menikah kembali.


"Seperti keajaiban, dengan suasana pernikahan yang romantis," katanya. "Saya merasa diberkati untuk memiliki anggota baru dalam keluarga besar Kardashian."


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More

Ian Antono Luncurkan Album Solo

Written By Smart Solusion on Friday, May 23, 2014 | 8:32 PM


Jakarta - Gitaris kelompok musik rock legendaris God Bless, Ian Antono melahirkan proyek solo album bertajuk "Song Book". Diakuinya, selama berkarier di musik, ia tidak pernah mendokumentasikan karya cipta dalam bentuk apapun.


Ian pun mengalami kesulitan mengingat-ingat dan mengumpulkan karya ciptanya sendiri. Hal ini lalu membuatnya memutuskan untuk membuat dokumentasi karya  dalam sebuah album musik.


"Pada Song Book I ini berisi sepuluh judul lagu. Uniknya, setiap lagu dalam album ini dinyanyikan oleh vokalis berbeda. Album ini dibuat secara sederhana, karena tujuannya pun sederhana. Ini memang babak baru karena sudah terjadi revolusi bagi industri musik Indonesia bahkan dunia," kata Ian pada peluncuran album di Rolling Stone Cafe, Jakarta, Jumat (23/5).


Menurutnya, dengan perkembangan teknologi komputerisasi yang mempengaruhi industri musik karya musik bisa semakin tenggelam. Apalagi, musik elah diciptakan puluhan tahun bisa hilang begitu saja.


Guna membangkitkan semangat musik Tanah Air, musisi kelahiran Malang, Jawa Timur, 29 Oktober 1950 itu menggandeng penyanyi yang dinilai mampu menghidupkan lagu dan karakternya kuat. Misalnya saja mantan vokalis grup band Boomerang, Roy Jeconiah.


Roy dipercaya menyanyikan lagu "Kepala Dua" ciptaan Ian Antono (dari album Gong 2000) dan "Neraka Jahanam" yang liriknya ditulis Ahmad Albar. Ian mengaku memilih Roy karena karakter suaranya yang unik dan mampu menghidupkan lagu.


Penyanyi lainnya ada Syaharani yang menyanyikan lagu “Uang” selaku single perdana. Sebelumnya lagu ini sudah lebih dulu dinyanyikan Happy Pretty dan Nicky Astria dalam balutan musik rock.


“Saya suka dengan kekuatan interpretasi Rani (panggilan akrab Syaharani), membuat saya kagum dengan cara dia menyanyikannya,” puji Ian.


Ini karena adanya paduan napas jazz dan blues yang dibalut dengan aransemen rock. Penyanyi lainnya adalah Koming Surya yang ditemukan Ian di Seminyak, Bali, yang membawakan lagu "Gersang" dan "Saksi Gitar Tua". Lalu Anindimas dengan lagu "Lari", serta Rezi Pratomo dengan "Suara Cinta" dan "Tertipu Lagi".


Nantinya, penggarapan Song Book nantinya akan menjadi proyek yang berkelanjutan. Musisi berusia 63 tahun ini juga ingin mengajak personel God Bless untuk menyanyi di album berikutnya.


”Proyek ini akan terus berkelanjutan menjadi Ian Antono Song Book I, Song Book II, III dan seterusnya dalam rentang waktu tak terbatas. Hal ini memang sudah saya rencanakan," ujarnya.


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More

Keluarga Benarkan Jessica Iskandar Sudah Menikah dan Sedang Hamil

Written By Smart Solusion on Thursday, May 22, 2014 | 8:32 PM


Jakarta - Kabar bahagia kini tengah menyelimuti presenter Jessica Iskandar dan suaminya Ludwig Franz Willibald Maria Joseph Leonard, pria berkewarganegaraan Jerman.


Meski menutupi kabar bahagianya (pernikahan) tersebut, Jessica saat ini pun tengah berbadan dua. Hal tersebut diungkapkan kakak Chika (panggilan akrab Jessica), Hendri yang ditemui di daerah Taman Sari, Jakarta Barat, Rabu (21/5) malam.


"Memang benar Chika telah menikah tanggal 11 Desember 2013 yang lalu di Gereja Yesus Sejati, Sawah Besar, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Dan kami telah mencatatkan pernikahan Chika dan Ludwig di Dinas Dukcapil DKI Jakarta pada 8 Januari 2014 lalu," ungkap Hendri.


Lebih lanjut dijelaskan Hendri, saat pernikahan yang digelar adiknya itu, baik dirinya dan keluarga Ludwig ikut hadir menyaksikan pernikahan tersebut.


"Saya mengantarkan dan menyaksikan pernikahan di gereja. Bulenya (Ludwig) juga ada kok dan benar dia itu orang Jerman. Foto-fotonya juga ada," lanjutnya.


Hendri juga membenarkan kabar Jessica yang kini tengah mengandung buah pernikahannya dengan Ludwig.


"Chika memang sekarang sedang hamil. Dan mau memunggu melahirkan anak di sana. Entah mau di Jerman atau di Amerika. Kalau itu saya gak tahu rencananya dimana," tegasnya dengan nada sinis.


Diungkapkan pula oleh Hendri, pernikahan yang dilakukan sang adik dengan seorang pria berkebangsaan Jerman itu memang tidak berlangsung besar, hal itu dikarenakan mereka ingin adanya kenyamanan saat menikah.


Bahkan saat hamil pun Jessica memilih pindah sementara keluar negeri untuk menghindari pemberitaan di sini.


"Sebenarnya ini urusan keluarga. Saat menikah enggak rame-rame dan memang tidak undang banyak orang. Kalau memang mau ke Amerika silakan beli tiketnya sendiri," tutupnya.


Pernikahan yang digelar Jessica dengan Ludwig memang sudah santer selama ini di media. Namun sebelumnya belum ada satupun dari pihak keluarga yang membenarkan kebenaran isu yang beredar.


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More

Seniman Dalang Bekasi Minta Perhatian Pemda

Written By Smart Solusion on Wednesday, May 21, 2014 | 8:32 PM


Cikarang - Sejumlah dalang di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang tergabung dalam grup seni padalangan Tri Bakti Budaya (TBB) meminta perhatian pemerintah daerah setempat.


"Ada banyak dalang di Kabupaten Bekasi, namun tidak semuanya terdata oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, padahal mereka adalah aset daerah yang wajib dipertahankan di tengah pesatnya industrialisasi saat ini," kata Sekretaris TBB, MS Suhendra, di Cikarang, Rabu (21/5).


Menurut dia, para dalang mengharapkan pelatihan untuk meningkatkan kualitas dalam menampilkan seni wayang kepada masyarakat luas. Pemerintah daerah juga diharapkan bisa menyediakan ruang untuk para seniman dalang agar bisa tampil di berbagai acara publik.


Hal senada dikatakan oleh Ketua Panitia "Jumpa dan Seleksi Dalang se-Kabupaten Bekasi", Minda Suhendra.


Menurutnya, wayang golek masih menjadi ciri khas budaya masyarakat Bekasi khususnya di sejumlah kawasan pelosok.


"Dengan menghargai budaya, maka kita sama saja melestarikan warisan nenek moyang kita," katanya.


Sementara itu,sedikitnya sembilan dalang beradu kebolehan dalam memainkan wayang golek dari pagi hari hingga malam hari dalam acara seleksi dalang yang berlangsung di Kampung Sempu, RT05 RW04, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara.


"Dari kurun waktu 1974 hingga sekarang, kegiatan seleksi seperti ini baru dilaksanakan kali ini. Itu pun inisiatif dari kami para dalang dalam menjaga silaturahmi," katanya.


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More

Tembak Mati Istri, Polisi Bekuk Aktor Michael Jace

Written By Smart Solusion on Tuesday, May 20, 2014 | 8:32 PM


Los Angeles - Michael Jace (51 tahun), aktor yang memerankan polisi Los Angeles dalam serial TV The Shield, dibekuk polisi karena diduga telah menembak istrinya, April Jace (40 tahun) hingga tewas.


Detektif Kepolisian Los Angeles Lyman Doster mengatakan, pihaknya menemukan April Jace tewas dengan luka tembak di rumahnya di Los Angeles, AS, Senin (19/5) malam.


Disebutkan, ketika itu Michael Jace ​​menelepon 911 untuk melaporkan bahwa istrinya telah ditembak.


Detektif Dean Vinluan mengatakan, saat Jace menelepon 911 itu, ternyata tetangga juga menelepon 911 karena mendengar suara tembakan.


"Pada saat ini, motif pembunuhan diyakini karena kekerasan dalam rumah tangga," kata polisi.


Penyidik menahan Jace. Pada Selasa pagi, polisi menyatakan bahwa Jace dituduh telah melakukan pembunuhan istrinya sendiri. Namun,


Jace akan ditempatkan di penjara Los Angeles dan uang jaminan yang ditetapkan sebesar US$ 1 juta.


Berdasarkan keterangan petugas, saat penembakan itu, dua anak Jace tengah berada di rumah. Kedua anak yang tidak disebutkan berapa usianya itu langsung dibawa polisi dan diserahkan kepada perwakilan dari Departemen Anak dan Keluarga California.


Penyidik telah mendapat laporan adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga antara Jace dan istrinya itu.


Jace menikah dengan April pada 2003. Selain main di film The Shield, ia juga pernah main di serial CSI: Crime Scene Investigation, Private Practice, The Mentalist, Burn Notice, dan NYPD Blue. Debutnya dalam film adalah tampil di Michael Jordan: An American Hero.


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More

Titiek Puspa: Ismail Marzuki Ubah Jalan Hidup Saya

Written By Smart Solusion on Monday, May 19, 2014 | 8:32 PM


Jakarta -  Penyanyi dan pencipta lagu Titiek Puspa mengakui komposer nasional Ismail Marzuki telah mengubah jalan hidupnya.


Ia mendapat motivasi yang luar biasa dalam bermusik. Artis senior ini pun mengagumi kemampuan sosok pencipta yang hebat karena mampu menggubah lirik-lirik yang sangat mengena di hati banyak orang.


“Kalau dilihat dari liriknya, Pak Ismail sepertinya romantis. Berkat satu lagu yang saya nyanyikan dulu, itu sangat menginspirasi dan menetapkan saya menjadi penyanyi,” katanya saat peluncurkan buku berjudul Seabad Ismail Marzuki, Senandung Melintas Zaman di Hotel Santika Premiere Jakarta, Senin (19/5).


Baginya, lagu Ismail bisa dibilang patriotis, romantisme, dan visioner. Karena itu, ia menjadikan Ismail sebagai tokoh inspirasinya karena lagu-lagunya bisa dikenang.


Titiek menilai lagunya tidak hanya satu warna atau satu genre. Lagu yang heroik, cinta Tanah Air, dan percintaan. Dalam satu lagu terlihat sempurna, meskipun Ismail belajar bermusik secara otodidak. Hal ini sama seperti yang dialaminya tidak pernah mengenyam bersekolah khusus musik. Jadi antara Titiek dan Ismail memiliki kesamaan dalam bermusik.


"Meskipun Ismail Marzuki ada yang mencibirnya karena tidak memiliki latar belakang musik secara ilmiah, bagi saya beliau adalah dewa pencipta. Lagu-lagunya membuat saya jatuh cinta. Karena itulah saya memberikan sanjungan setinggi-tingginya kepada Ismail Marzuki," tegasnya yang mendapat kehidupan baru.


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More

Nikita Willy dan Diego Miechels Putus karena LDR

Written By Smart Solusion on Sunday, May 18, 2014 | 8:32 PM


Jakarta - Kabar jalinan asmara pesinetron Nikita Willy dan pesepakbola Diego Miechels kini tengah diambang kehancuran. Hal itu diutarakan Nikita Willy saat ditemui di Meis, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (18/5) malam.


"Memang sudah sekitar satu bulan lalu sudah enggak sama-sama. Cuma memang kalau misalkan ditanya, dari kemarin aku masih bilang baik-baik saja," ungkap Nikita Willy.


Lebih lanjut ditanyakan alasan apa yang membuat asmara yang yang telah terjalin 2,5 tahun itu, wanita kelahiran Jakarta itu menyebutkan hubungan jarak jauh (Long Distance Relationship/LDR) jadi alasan kandasnya hubungan keduanya.


"Putusnya mungkin juga lebih karena long distance, dia kerja di luar kota dan aku di Jakarta. Ketemunya memang jarang. Tetapi kalau kita sama-sama free pasti kita saling samperin. Cuma memang gak bisa terus-terusan kayak gitu, meski sedih tapi keputusan ini harus aku ambil meskipun kita sudah menjalaninya selama dua setengah tahun ini," lanjut Nikita.


Meski kini mereka telah berpisah, namun Nikita meyakinkan hubungan keduanya tetap baik-baik saja.


"Kita jadian dulu baik-baik, dan enggak ada masalah yang berarti selain karena alasan itu. Jadi kita putuspun baik-baik. Jadi sekarang kita berteman," tutur Nikita.


8:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




8:17 PM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger