Powered by Blogger.

Popular Posts Today

Kineforum Gelar Bioskop "Misbar"

Written By Smart Solusion on Saturday, December 6, 2014 | 7:32 PM


Jakarta - Layar tancap atau bioskop misbar, singkatan dari gerimis bubar kini memang sulit ditemui. Tetapi dengan jas hujan, maka berganti menjadi gerimis tidak bubar. Kineforum membuat acara seru, layar tancap di Taman Menteng, Jakarta.


Tahun ini Kineforum Misbar hadir dengan tema “Lawan”, dibuka 22 November di Lapangan Blok S dan ditutup 6 Desember di Taman Menteng. Tema lawan ini tentunya memiliki arti sendiri.


"Saya orang Jakarta, tapi saya akui di Jakarta ini ruang publik kerap sulit diakses dan dimanfaatkan oleh warganya sendiri. Di car free day, itu ruang publik yang sudah dikuasai merek (brand). Pemerintah provinsi DKI Jakarta sedang giat-giatnya membangun taman, tapi akan sia-sia jika tidak diaktivasi,” ucap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Arie Budhiman.


“Muncul ironi ketika ada yang ingin memanfaatkan taman atau ruang publik untuk kegiatan seperti ini tapi izinnya sulit,” ujar Totot Indrarto, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta.


Memang acara nonton bareng ini nampak seperti perlawanan. Mereka yang adalah kaum muda yang biasa menonton film di mal. Kegiatan yang identik dengan kursi empuk dan nyaman, tata suara terkini, film teranyar, dan tentu saja tanpa gerimis hujan.


Bagaiman dengan misbar? Bangku panjang dari kayu yang lebih sering basah daripada kering, sedikit gerimis hujan, dan kunang-kunang yang berseliweran.


Hampir tak ada penikmat Misbar yang bertahan pada posisi duduknya selama lebih dari 15 menit. Mereka sibuk mencari posisi yang nyaman, tapi sama sekali tak ada keluhan dan terus menikmati film dengan khidmat.


Film yang ditampilkan di layar tancap Kineforum ini, sudah sulit ditemui di bioskop sekarang. Film yang diputar adalah film klasik dan film terbaru yang tayang perdana di sana. Kantata Takwa (2008) dipilih sebagai film pembuka, Kuldesak (1997) sebagai penutupnya. Di antara keduanya, ada judul-judul berikut, antara lain: Pagar Kawat Berduri (1961), Matjan Kemajoran (1965), Si Pitung (1970), Si Doel Anak Betawi (1973), Atheis (1974), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Mata Tertutup (2011), Ketika Bung di Ende (2013), serta 17 film pendek yang dikompilasi dengan tema Pendek dan Segar.


Cukup disayangkan oleh Arie, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama belum bisa hadir ke Misbar. Padahal ada satu film dokumenter pendek tentang dia. Cerita saat Ahok, sapaan akrab sang gubernur, berkampanye sebagai calon anggota DPR dari Bangka Belitung pada Pemilu 2009 silam.


“Kami akan terus hadir. Jika tahun ini di dua tempat, tahun depan akan bertambah menjadi lima atau enam tempat,” ucap Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno.


Film Kuldesak
Kuldesak misalnya, adalah penanda kebangkitan dari perfilman Indonesia yang setelah selama dekade 90an mati suri. Film ini hasil kolaborasi cerita Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Riza, Adi Nugroho, dan Rizal Mantovani.


Berbeda dengan film Mira dan Riri sekarang, Kuldesak gelap. Kuldesak menampilkan fragmen kehidupan empat warga Jakarta yang tidak saling bersinggungan. Empat tokoh utama punya impian, keinginan, obsesi, dan masalah yang akhirnya tidak kesampaian.


Dengan berani, Kuldesak menghadirkan sepotong kecil kehidupan kaum gay, penjual tiket bioskop, musisi gagal, mahasiswa idealis yang menggemari film, dan pekerja kantoran yang bermasalah dengan bosnya. Jujur dan terkadang vulgar, justru komponen itu yang membuat Kuldesak terasa segar.


Penulis: Shesar Andriawan/MUT


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




7:17 PM | 0 komentar | Read More

Cerita Seru Arifin Putra Jadi Profesor

Written By Smart Solusion on Friday, December 5, 2014 | 7:32 PM


Palembang  - Aktor Arifin Putra kembali mengasah kemampuan aktingnya melalui film adaptasi novel karya Dewi Lestari, Supernova. Dalam film itu, Arifin akan memerankan sosok Ruben, seorang profesor.


Peran sebagai Ruben, diakui Arifin menjadi tantangan tersendiri untuknya. Karena, Ruben sebagai seorang profesor kerap menggunakan istilah-istilah ilmiah. Arifin pun mau tak mau harus mempelajari istilah-istilah ilmiah


"Kalau tokoh Ruben ini dari segi dia seorang ilmuan, pertama-tama, kata-katanya ilmiah banyak sekali. Karena nggak mau salah, kita sampai riset seluk beluk kata, sejarah kata itu dan cara ngomongnya," kata Arifin yang ditemui usai malam penganugerahan Piala Vidia di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (5/12).


Arifin mengaku dirinya tidak mau hanya sekedar menghapalkan istilah-istilah asing tersebut. Ia menginginkan dirinya betul-betul memahami, sehingga nantinya penonton tidak memberikan komentar negatif terhadap aktingnya tersebut.


"Mereka nonton filmnya, nggak akan bilang, ah ketahuan tuh hanya hapalan. Jadi kita ingin orang melihat kalau kita benar-benar memahami istilah asing itu," kata Arifin.


Tak hanya mempelajari istilah-istilah ilmiah, guna mendalami perannya sebagai Ruben, Arifin pun sampai membuat karakterisasi tokoh Ruben. Dalam film yang bakal tayang 11 Desember 2014 ini, Arifin melakukan pendalaman peran dengan sangat serius.


"Dua sampai tiga bulan aku pakai untuk pendalaman peran Ruben," kata Arifin.


Penulis: Rizky Amelia/MUT


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




7:17 PM | 0 komentar | Read More

Dilaporkan ke Polisi, Syahrini Tak Banyak Komentar

Written By Smart Solusion on Thursday, December 4, 2014 | 7:32 PM


Jakarta - Syahrini dilaporkan ke pihak Kepolisian oleh seorang penyanyi bernama Martin Carter. Laporan itu terkait rumah karaoke Princess Syahrini yang diduga melakukan pelanggaran hak cipta. Menanggapi hal ini Syahrini tak terlalu banyak komentar.


"Aduhh, apa lagi sih. Kenapa lagi sih karaoke aku ini? Pusing...," ungkap Syahrini saat ditemui di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (4/12) malam.


Rendhy, manajer Syahrini, saat ditemui di tempat yang sama mengungkap itu adalah masalah dengan manajemen rumah karaoke dan tidak ada sangkut pautnya dengan Syahrini.


"Kami manajemen Syahrini baru tahu masalah itu, namun kalau segala yang berurusan dengan rumah karaoke itu tidak berkait langsung dengan Syahrini, harusnya dengan perusahaan yang menaungi rumah karaokenya," ungkap Rendhy.


Rendhy sendiri mengatakan bahwa nama besar Syahrini memang sering jadi sasaran empuk bagi siapa pun yang ingin  mendompleng popularitas.


"Kami harap tidak ada unsur azas manfaat dari pihak tertentu. Namun yang pasti dalam beberapa hari ke depan pihak manajemen yang menaungi rumah karaoke dan Syahrini akan bicara terkait masalah ini," ungkapnya.


Penulis: Chairul Fikri/MUT


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Petualangan "The Librarian" Tayang di Seluruh Asia

Written By Smart Solusion on Tuesday, December 2, 2014 | 7:32 PM


Jakarta - Universal Networks International (UNI), divisi saluran internasional dari NBCUniversal, telah mengumumkan bahwa Electric Entertainment memproduksi serial TV The Librarians yang ditayangkan di Universal Channel – rumah dengan "100 persen Karakter". Serial ini akan ditayangkan di seluruh Asia dalam waktu 24 jam setelah tayang di jaringan TNT di AS mulai Desember 2014


Penonton Universal Channel di Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia, Thailand, Taiwan, Hong Kong dan banyak lagi, semua akan dapat menyaksikan Noah Wyle (Falling Skies, ER) mengulangi perannya dari trilogi film The Librarians. Ini adalah serial baru yang dibintangi Rebecca Romijn (X-Men) – waktu yang sama dengan tayang perdana di AS.


Romijn bergabung dengan Christian Kane (Leverage), Lindy Booth (Dawn of the Dead) dan John Kim (The Pacific) sebagai pelindung harta mistis di dunia bersama pemenang penghargaan Emmy, John Larroquette (Night Court, Deception), memerankan pengasuh mereka. Pemenang Emmy, Bob Newhart (The Big Bang Theory, The Bob Newhart Show) dan Jane Curtin (Kate & Allie 3rd Rock from the Sun) mengulangi karakter mereka dari trilogi film itu, pada awal seri. Matt Frewer (Max Headroom, Falling Skies) juga dipasang untuk memainkan peran berulang.


"Sebuah drama pertualangan aksi yang didorong oleh sekelompok karakter berani dan unik, The Librarians adalah tambahan yang menarik untuk jajaran pemrograman Universal Channel di seluruh dunia," komentar Steve Patscheck, Wakil Presiden Eksekutif Pemrograman Universal Networks International dalam siaran persnya di Jakarta, baru-baru ini. "Kami sangat senang menjadi bagian dari seri baru yang akan tayang dalam waktu 24 jam setelah debut di AS, yang memberikan pemirsa internasional kemudahan agar segera melihat akting para pemainnya."


"Dengan The Librarians, kami tahu telah memiliki serial besar di tangan kami. Dan sekarang bersama Universal Networks International sebagai mitra, kami sangat gembira bahwa kita akan memiliki jangkauan global dan publisitas yang layak," kata Kepala Distribusi International Electric, Sonia Mehandjiyska.


The Librarians berpusat pada sebuah organisasi kuno tersembunyi di bawah Perpustakaan Umum Metropolitan di New York yang didedikasikan untuk melindungi dunia dari ketidaktahuan akan rahasia, realitas magis yang tersembunyi di sekitar. Kelompok yang beranggota berbagai karakter menarik ini memecahkan misteri-misteri yang mustahil, melawan berbagai ancaman supranatural dan menemukan kembali artefak-artefak berpengaruh dari seluruh dunia. Di antara artefak yang terdapat di perpustakaan adalah Tabut Perjanjian, Tombak Takdir, Piala & Pedang Yudas. Hanya orang dengan keahlian khusus yang bisa bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan melindungi semua artefak ini. Dan yang lebih penting, untuk mencegahnya jatuh ke tangan yang salah.


Film franchise The Librarians dimulai pada 2004 dengan sekuel pada 2006 dan 2008. Bagian pertama dinilai sebagai film nomor satu kabel dasar di film tahunan AS, sedangkan bagian kedua masuk dalam lima besar film kabel dasar yang disiarkan televisi pada tahun itu dan menjadi sekuel film kabel asli nomor satu. The Librarians ditangani oleh produser eksekutif Wyle, Dean Devlin, John Rogers, dan Marc Roskin.


Penulis: NAN/FER


Sumber: Investor Daily


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




7:17 PM | 0 komentar | Read More

Denny Sumargo Tak Masalah Diganggu Makhluk Halus

Written By Smart Solusion on Monday, December 1, 2014 | 7:32 PM


Jakarta - Pebasket yang kini alih profesi menjadi bintang film, Denny Soemargo kembali bermain dalam film horor. Kali ini, film yang dimainkan oleh Denny merupakan Danau Hitam arahan sutradara Jose Poernomo.


Dalam menjalani proses pengambilan gambar film ini, Denny menjelaskan banyak peristiwa mistis yang terjadi. Lokasi shooting di hutan Cikole, Situ Patenggang, dan sebuah rumah kayu di daerah Lembang, diakui Denny merupakan daerah yang angker.


"Memang lokasinya jauh dari pemukiman. Logikanya, lokasi begitu kan banyak dihuni mahluk antah berantah," kata Denny, Senin (1/12).


Menurut Denny, terdapat sejumlah kru yang mempunyai kemampuan melihat dan berkomunikasi dengan mahluk-mahluk dunia lain. Tak hanya itu, anak kecil yang memerankan tokoh hantu dalam film ini pun mengalami kejadian mistis. Denny bercerita, anak kecil yang sudah didandani menyerupai hantu, melihat langsung sosok yang sama.


"Ada sosok sama kayak anak kecilnya. Mengakibatkan salah satu pemain nggak mau tidur di kamarnya," kata Denny.


Kehadiran mereka ungkap Denny lumayan mengganggu proses shooting. Pasalnya, sering terdengar teriakan-teriakan histeris.


Denny percaya dengan keberadaan mahluk halus. Ia pernah menyaksikan sendiri sejumlah kejadian mengerikan. Akan tetapi, Denny cenderung tidak mempedulikan mereka. Menurut Denny, apabila ia penasaran dengan dunia gaib, makan mereka akan mendekatinya.


"Saya merasakan aktivitas mereka. Saya nggak bermasalah dengan hal itu. Saya tahu itu serem, tapi saya tak bermasalah dan saya bisa mengontrol itu," kata Denny.


Penulis: Rizky Amelia/MUT


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




7:17 PM | 0 komentar | Read More

"Running Man" Kembali Sapa Singapura

Written By Smart Solusion on Sunday, November 30, 2014 | 7:32 PM


Singapura - Para anggota Running Man, Ji Suk-jin, Kim Jong-kook, Song Ji-hyo, Lee Kwang-soo, dan HaHa mengatakan, senang bisa kembali di Singapura, saat konferensi pers, Jumat (28/11), menjelang temu dan sapa penggemar, Sabtu (29/11) di The Star Performing Arts Centre.


Ini akan menjadi peristiwa kedua bagi fans mereka di sini. "Makanan besar. Singapura adalah negara yang indah dan saya sangat senang berada di sini lagi!", kata HaHa.


Kim menyetujui pendapat rekannya dengan menggambarkan Singapura sebagai "kota yang indah" di mana "orang-orangnya benar-benar menyenangkan", dan di mana "cuaca baik".


Song mengatakan, dia cukup beruntung untuk tiba lebih awal dan mendapat kesempatan untuk melakukan sedikit tamasya.


"Aku benar-benar bersenang-senang. Ada banyak hal untuk dilihat. Aku pergi ke akuarium dan itu benar-benar menarik!" kata aktris itu sambil menyeringai.


Running Man, sebuah variety show permainan yang melihat kontestan yang mencoba untuk bermain lebih bagus dan mengecoh satu sama lain dalam berbagai tantangan, telah terus menjadi salah satu acara yang paling populer di Asia sejak debutnya pada 2010, berkat pemeran yang menarik serta terus-menerus dalam format dan jajaran bintang tamu yang berkembang.


Ditanyakan episode mereka yang paling berkesan, Kim mengatakan, itu tidak mungkin untuk memilih karena "setiap episode itu sangat berarti".


Sementara, HaHa mengatakan, episode pertama dari Running Man tetap hidup dalam pikirannya karena merupakan langkah yang sangat besar bagi para pemain, yang juga termasuk Yoo Jae-suk dan Gary Kang, yang akan absen dari pertemuan penggemar mereka di Singapura.


Kwintet ini akan menghadiri acara tanda tangan di Suntec City pada Sabtu (29/11) sore, sebelum bermain game dengan penggemar dan tampil untuk mereka di satu acara dua jam di malam hari.


Ini akan menjadi pemberhentian terakhir dari tur temu penggemar Race Start Season 2 mereka.


Penulis: /EPR


Sumber:Antara/CNA/AFP


7:32 PM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




7:17 PM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger